TAKE AND GIVE
Selasa, 18 Agustus 2009TAKE AND GIVE
Lalu ide terus berkembang secara berangsur-angsur
Hingga menjadi sebuah proyek yang maha besar
Yang akan membawa para pemilik ide itu
Kearah kebebasan, kemerdekaan dan kemajuan
Engkau mampu mewujudkan perkara-perkara
Yang belum pernah kau wujudkan sebelumnya
Tentukanlah titik awal tujuanmu
Dan melangkahlah mewujudkannya
Gunakanlah prinsip TAKE and GIVE
Persis seperti yang ada pada hukum alam
Bahwa setiap aksi akan melahirkan reaksi yang seimbang.
Setiap kali engkau memberikan waktu, usaha , harta,
Dan pengetahuan pada orang lain, maka
Setiap itu pula orang lain akan membalasnya
Sesuai yang engkau berikan, bahkan lebih....
Ambillah manfaat dari setiap permasalahan]
Dan jadikanlah permasalahan-permasalahan itu
Sebuah awal menuju kesuksesan
Jadikanlah kegagalan sebagai kesempatan
Untuk meraih keberhasilan
Janganlah engkau merencanakan kegagalan
atau balas dendam !
Ambillah manfaat dari setiap kesulitan
Dan jadikanlah ia sebagai kesempatan untuk mencinta,
membina hubungan dan belajar
Shalat malam adalah jalanmu untuk meraih
Kekuatan, keberanian, konsistensi dan ketenangan hati.
Berbahagialah dengan segala yang Allah Ciptakan untuk
dirimu dalam kehidupan ini,
Dan ikutilah manhaj (aturan-aturan)-Nya
Kesuksesan yang sesungguhnya terletak pada
Usahamu yang terus menerus
untuk meraih prestasi atau keunggulan
Jangan membelenggu dirimu
dengan ikatan-ikatan yang tidak nyata !
Masa depan itu engkau bangun dengan kedua tanganmu,
Engkau rancang dengan akalmu,
Dan engkau wujudkan dengan pengetahuan,
perbuatan dan keikhlasanmu
Pelajarilah berbagai bidang pengetahuan
Yang hanya dapat dilakukan oleh sedikit orang.
Ketika itulah kemungkinan
untuk meraih kesuksesan semakin besar
Perluaslah wawasan pikiranmu dengan beragam bacaan,
Agar pengalamanmu menjadi semakin luas
Dan kesempatanmu untuk
meraih kesuksesan menjadi kian besar
Engkau adalah sosok yang unggul
Sebab engkau memiliki bakat dan kemampuan
Yang hanya engkau saja yang memiliki
Arahkanlah bakat dan kemampuanmu itu,
Dan belajarlah bagaimana cara
Mengembangkan kearah yang kau tuju
Bekerja secara kontinyu adalah jalanmu
Untuk meraih kesuksesan
Peliharalah Waktumu, waktumu dan Waktumu…
Rancanglah masa depan
Dan lakukanlah hal- hal yang akan membentuknya
(Saduran bebas Oleh Elvi Zuhailina dari, Maha Abul 'Izz, "Meraih Sukses Hidup")
*EZ/ 14/08/09*
Pembuatan Media dan Sterilisasi Media Kultur Jaringan Bitti
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.2.2. Pembuatan Media dan Sterilisasi Media Kultur Jaringan Bitti
Media merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan, khususnya kultur jaringan sengon. Akan tetapi,
ada hal yang lebih utama lagi diperhatikan yang menentukan apakah media
tersebut layak atau tidak digunakan. Hal tersebut adalah sterilitas dari media.
Untuk mendapatkan media yang steril, tentunya terlebih dahulu kita harus
mensterilkan botol-botol atau tabung media tersebut. Botol atau tabung yang
sudah dicuci bersih dengan menggunakan detergen, dan dibilas dengan air
bersih kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf ± 60 menit dengan suhu
121o
C dengan tekanan 1,5 psi (pound per square inch). Setelah sterilisasi
dilakukan barulah botol-botol atau tabung tersebut siap digunakan sebagai
tempat media. Media yang digunakan untuk inisiasi bitti adalah media
I,II,III,IV. Media I-IV menggunakan media dasar MS. Zat Pengatur Tumbuh
yang digunakan berfariasi antara lain benzilamonipourine (BAP), Kinetin dan
napthalene acetid acid (NAA).
Untuk memudahkan dalam pembuatan media, maka diperlukan larutan stok.
Larutan stok tersebut adalah larutan stok hara makro dan hara mikro (MS A),
Cacl2.2H2O (MS B), Fe (Besi) (MS C), vitamin MS, dan hormon.Yang perlu
dipersiapkan dalam pembuatan media kultur jaringan bitti yang menggunakan
media dasar MS adalah bahan dan alat yang akan digunakan. Bahan yang
digunakan antara lain : Larutan stok MS A, stok MS B, stok MS C, stok vitamin
MS, stok hormon, aquadest steril, agar, gula, alluminium foil. Alat-alat yang
digunakan antara lain : pipet gondok, beaker glass, erlenmeyer, gelas ukur,
neraca digital, hot plate magnetic stirer, microwave, pH meter, panci , tabung
media kecil, sarung tangan.
Larutan stok dibuat untuk memudahkan pekerjaan dalam pembuatan media dan
mengurangi kesalahan dalam menimbang bahan yang berulang – ulang.39
Larutan stok seperti stok hara makro, mikro, vitamin dan zat pengatur
tumbuh dibuat dengan cara menimbang masing – masing bahan kimia yang
diperlukan sesuai ketentuan standar media atau sebanding dengan konsentrasi
yang diperlukan. Setelah bahan – bahan kimia ditimbang kemudian dilarutkan
dalam aquades steril, sehingga konsentrasi yang diinginkan tercapai. Larutan
stok disimpan dalam kulkas.
Pembuatan media dilakukan dengan mencampur larutan – larutan stok ke
dalam gelas beker sesuai dengan ketentuan masing –masing stok dan ditambah
zat pengatur tumbuh sesuai dengan perlakuan. Setelah ditambah aquadest steril
hingga mendekati volume yang diinginkan, pH diukur menggunakan pH meter.
Jika media terlalu asam ditambahkan NaOH 0,1 N dan jika terlalu basa
ditambahkan HCl 0,1 N hingga di dapat pH 5,6 – 5,8. Aquadest ditambahkan
sampai volume yang diinginkan dan ditambahkan agar –agar sebagai pemadat
media sebanyak 12 g/l.
Setelah itu pindahkan larutan tersebut ke dalam microwave selama 6 menit
untuk lebih memastikan bahwa larutan benar-benar homogen. Kemudian masak
media tersebut dengan mengunakan Hotpalte magetic stirer hinga agar dapat
larut sempurna. Setelah larutan media mendidih atau menjadi bening dan timbul
gelembung-gelembung udara, larutan media tersebut dituangkan dalam tabung-
tabung media kecil kira-kira mencapai volume ¼-nya dari tabung media.
Kemudian menutup media tersebut dengan alluminium foil. Langkah
selanjutnya adalah melakukan sterilisasi pada media tersebut. Sterilisasi
dilakukan dengan menggunakan autoklaf selama 20 menit dengan suhu 121o
C
dan tekanan 1,5 psi (pound per square inch). Setelah dilakukan sterilisasi
kemudian media-media tersebut disimpan dalam rak-rak penyimpanan media.
Kemudian biarkan media tersebut hingga 3-5 hari untuk melihat apakah media
tersebut terkontaminasi atau tidak.40
4.1.2.3. Penyiapan sumber eksplan Bitti (Vitex cofassus.Reinw)
Permasalahan umum yang sering dihadapi dalam perbanyakan tanaman keras
atau tanaman tahunan biasanya dalam hal penyediaan eksplan, karena tanaman
kayu atau tanaman keras banyak mempunyai jaringan yang tua, meskipun di
beberapa bagian ada pula yang masih bersifat meristematis. Umumnya eksplan
yang digunakan adalah tunas pucuk yang memiliki jaringan yang masih muda
dan mengandung hormon endogen, yang sedang tumbuh aktif karena
mengandung lebih sedikit sumber kontaminan dan masih aktif bergenerasi. Dan
biasanya bahan eksplan didapatkan dari tanaman indukan yang sudah dewasa
yang ditanam dilapangan dan syarat dengan mikroorganisme atau kontaminan,
maka untuk mengurangi resiko kontaminasi dari lingkungan luar, sumber
eksplan untuk inisiasi bitti ini berasal dari tunas seedling yang dihasilkan dari
perkecambahan biji.
Benih direndam dalam air panas mendidih (80o
C) selama 15 – 30 menit. Setelah
itu, benih direndam kembali dalam air dingin sekitar 24 jam, lalu ditiriskan.
untuk selanjutnya benih siap untuk disemaikan. Benih disemaikan dalam bak
semai menggunakan media pasir steril kemudian disungkup untuk menjaga
kelembaban. Setelah kecambah berumur 60 hari(2 bulan) maka bibit tersebut
dapat digunakan menjadi eksplan. Namun jika dilihat dari segi genetik, eksplan
tersebut tidak memiliki keseragaman,seperti eksplan yang berasal hasil
rejuvenasi.
4.1.2.4. Sterilisasi eksplan dan inisiasi kultur eksplan Bitti (Vitex
cofassus.Reinw)
Sebelum dilakukan pengkulturan eksplan harus disterilisasi terlebih dahulu.
Dalam proses sterilisasi eksplan, yang dibersihkan adalah debu, cendawan dan
bekteri atau kontaminan lain baik dari permukaan eksplan maupun dari dalam
eksplan. Karena sumber kontaminan tersebut, jika tidak dibersihkan akan
berpengaruh besar terhadap pengkulturan yang dilakukan. Kultur yang41
dilakukan dikatakan gagal jika sudah terkontaminasi.Bahan kimia yang dipakai
untuk sterilisasi eksplan bitti adalah a). alkohol dengan konsentrasi 70%, b).
NaOCl konsentrasi 1% dan 1,5 %. Sumber NaOCl yang sering digunakan
adalah pemutih pakaian yang kandungan bahan aktifnya adalah 5,25% NaOCl.
c). Untuk meningkatkan efektivitas sterilisasi, dapat ditambahkan Tween-20 3
tetes/100ml. d).Detergen cair, f). Fungisida 2gr/100ml. Proses sterilisasi bitti ini
dilakukan dalam dua tahap, tahap-1 sterilisasi dilakukan di luar laminar dan
tahap-2 sterilisasi dilakukan di dalam laminar.
Proses sterilisasi tahap pertama (di luar laminar) diawali dengan memotong
eksplan dari persemaian di dawah daun lembaga menggunakan gunting
kemudian membersihkan eksplan dengan menggunakan kuas halus dalam
larutan fungisida (Dithane M45) 15 menit (10g/l) kemudian eksplan di potong
di pisahkan antara hipokotil dan epikotilnya eksplan direndam dan digojog
kembali dengan larutan fungisida 10gr/l dengan menggunakan magnetik stirer
selama 15 menit, setelah itu eksplan dibersihkan kembali dengan merendam
eksplan tersebut di bawah air keran yang mengalir. Kemudian bilas dan rendam
serta menggojog eksplan di dalam wadah (beaker glass) yang berisi larutan
detergen cair 10 tetes/100ml selama 15 menit mengunakan magnetik stirer
kemudian membilasnya kembali dalam air mengalir hingga sisa-sisa deterjen
dari permukaan eksplan habis, disambung dengan pembilasan kembali
menggunakan aquadest hingga bersih dari larutan bahan serilisasi yang masih
menempel pada eksplan. Setelah bersih, eksplan dimasukkan dalam botol steril
kemudian eksplan dibawa di dalam laminar untuk proses sterilisasi selanjutnya (
di dalam laminar).
Sebelum melakukan sterilisasi di dalam laminar, terlebih dahulu kita harus
mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk sterilisasi di dalam
laminar (NaOC l% + @ tween 2- 3 tetes/100ml, alkohol 70%, aquadest steril,
timer, pinset, pisau skalpel, pertidish steril, kertas steril, plastik wraping, botol42
rendaman alkohol 96%, sprayer berisi alkohol 70%, wadah pembuangan larutan
sisa sterilisasi), dan mempersiapkan laminar dalam keadaan siap digunakan
(menyemprot meja laminar dengan alkohol 96% ). Proses sterilisasi tahap dua
ini dimulai dengan merendam dan menggojog eksplan dalam larutan alkohol
70% (1 menit) kemudian bilas dengan aquades steril 3 kali, selanjutnya rendam
dan gojlog dengan larutan NaOCL (Bayclin) 1 % + 3 tetes Tween 20 selama 5
menit. Kemudian lakukan pembilasan menggunakan aquadest steril 3 kali.
Setelah itu eksplan di potong sesuai kebutuhan dan siap untuk diinisiasi.
Inisiasi bitti ini dilakukan dengan menanamkan eksplan meggunakan pinset
steril pada masing-masing media perlakuan yang telah disediakan. Kemudian
menutup botol kultur dengan aluminium foil. Setelah penanaman selesai
dilakukan, kemudian diinkubasi dalam pertumbuhan dengan suhu + 25 – 27oC,
dengan cahaya 30.000 lx lampu TL dan kelembaban ± 70%.
4.1.2.5. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul Bitti (Vitex
cofassus.Reinw)
Di laboratorum kultur jaringan ini, penelitian tanaman bitti masih pada tahap
awal, maka untuk kegiatan subkultur bitti dilakukan pada tanaman bitti hasil
inisiasi bitti dari biji yang di tumbuhkan dalam media kultur jaringan kemudian
memotong dan memindahkan eksplan pada media multiflikasi. Multiplikasi
atau perbanyakan propagul adalah pada umumnya adalah kegiatan
memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media yang baru.
Proses multiplikasi dilakukan di dalam laminar. Sebelumnya kita harus
mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan juga mempersiapkan
laminar dalam keadaan steril dan siap digunakan Meja laminar disemprot
dengan menggunakan alkohol 70%. Alat-alat yang perlu dipersiapkan adalah:
pisau skalpel, pinset, petridish steril, lampu bunsen, botol rendaman berisi
alkohol 96%, sprayer berisi alkohol 70%, aluminium foil penutup media, rak
media. Bahan yang perlu dipersiapkan adalah planlet, media subkultur, tisu,43
plastik wraping. Setelah alat dan bahan dipersiapkan, kita bisa memulai proses
multiplikasi.
Sebelum melakukan kegiatan subkultur ini, alat-alat yang telah dipersiapkan
diterilisasi dengan mencelupkan dalan larutan alkohol 96% kemudian
membakarnya berulang-ulang hingga dirasa cukup. Planlet dikeluarkan dari
dalam botol dengan menggunakan pinset, kemudian planlet tersebut dipotong
per nodus menggunakan pisau skalpel. Potongan planlet tersebut kemudian
dapat ditanamkan dalam media subkultur 3 nodus per botol. Kemudian botol-
botol ditutup dengan menggunakan aluminium foil dan dilapisi dengan plastik
wraping, kemudian diberi label tanggal penanaman dan jenis tanaman. Botol-
botol subkultur disimpan di ruang pertumbuhan dengan intensitas cahaya
minimal 30.000lux , dengan suhu 25 – 27o
C dan kelembaban ± 70%.
4.1.2.6. Aklimatisasi
Sama halnya dengan subkultur, karena dalam laboratorium ini penelitian bitti
masih dalam tahap inisiasi, maka aklimatisasi di lakukan dengan menggunakan
plantlet hasil inisiasi biji bitti dalam media kultur jaringan. Aklimatisasi adalah
kegiatan mengadaptasikan tanaman atau mengkondisikan tanaman dari yang
semula kondisinya terkendali ke kondisi yang tak terkendali, untuk menjadi
tanaman yang autotrof. Pengkondisian yang dimaksudkan adalah pengkondisian
klimatologi (suhu, cahaya, kelebaban). Karena kondisi iklim mikro di dalam
botol berbeda dengan kondisi iklim mikro di rumah kaca. Oleh sebab itu sangat
diharapkan perawatan secara intensif selama proses aklmatisasi berlangsung
sampai tanaman dapat tumbuh baik di lingkungan luar. Sebelum melakukan
aklimatisasi yang perlu dipersiapkan adalah alat-alat dan bahan-bahan yang
akan digunakan. Alat yang digunakan meliputi: pinset, kuas kecil, bak
rendaman kecil. Bahan yang digunakan meliputi : Planlet bitti yang siap
diaklimatisasi, fungisida, media aklimatisasi (tanah + pupuk kandang), palstik44
sungkup, air bersih. Planlet yang sudah siap diaklimatisasi dengan kondisi
berakar banyak, batang kokoh, kondisi planlet segar dikeluarkan dari dalam
botol secara hati-hati dengan mengunakan pinset dan jangan sampai melukai
planlet. Kemudian membersihkan planlet dari media yang masih menempel
dengan menggunakan kuas dalam air bersih. Setelah bersih kemudian
merendam planlet tersebut dalam larutan fungisida ± @2gr/L selama 5 menit.
Setelah itu planlet ditanamkan ke dalam media tanam (tanah+ pupuk kandang)
dan diberi sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar
dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan
terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu
beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup
dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan
pemeliharaan bibit generatif. Aklimatisasi dapat dilakukan di rumah kaca,
rumah kasa atau pesemaian, yang kondisinya (terutama kelembaban) dapat
dikendalikan.
4.1.2.7. Percobaan dan Pengamatan Hasil Inisiasi Bitti (Vitex
cofassus.Reinw)
Mengetahui respon pertumbuhan dan perkebangan eksplan dari tunas
seedling ± umur 30 hari pada beberapa media perlakuan.
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui respon terbaik dari beberapa
media perlakuan, terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan bitti, dari
tunas seedling ± umur 30 hari. Ada 4 macam media perlakuan dengan simbol
(I,II,III,IV). Dengan 2 macam eksplan yaitu pucuk(A) dan lateral(B). Setiap
perlakuan terdiri dari 20 kali pengulangan (1 eksplan per botol sebanyak 20
botol). Sehingga total eksplan yang digunakan adalah 4x2(1x20)=160 eksplan.
Data hasil pengamatan disajikan dalam bentuk rekapitulasi rata-rata dan
persentase hasil, beberapa parameter yang diamati antara lain tingkat
kontaminasi (%), eksplan yang bertahan (%), eksplan yang menginduksi tunas45
(%), jumlah tunas dan tinggi tunas. Dari hasil pengamatan yang dilakukan
secara periodik selama 4 minggu dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.
Tabel 2. Data hasil inisiasi tanaman Bitti (Vitex cofassus.Reinw)
pada berbagai komposisi media perlakuan (I,II,III,IV) dan jenis
eksplan (A dan B).
Parameter
Pengamatan
Media Perlakuan
IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVB
Tingkat kontaminasi (%)
65 60 60 70 60 85 45 80
Eksplan yang mati
/gosong (%)
5 30 5 15 5 0 0 0
Eksplan yang
bertahan/menginduksi
tunas (%)
30 10 35 15 35 15 55 20
Jumlah Tunas aksilar
1,0 2,0 0,6 1,2 0,8 1,0 O,7 1,6
Tinggi tunas aksilar (cm)
0,4 0,3 0,2 0,04 0,1
Jumlah daun 3,4 2,7 1,4 2,1 1,9
Tinggi tunas (cm)
0,7 0,7 0,3 0,3
Keterangan :
ß Persentase (%) semua parameter dihitung berdasarkan jumlah total
eksplan yang dikultur pada setiap perlakuan
Dari tabel diatas, diketahui bahwa tingkat kontaminasi dari masing-masing
media perlakuan masih relatif tinggi berkisar antara 45– 80 %. Pengamatan
tingkat kontaminasi dihitung dari 1 minggu setelah inisiasi selama 3 minggu
pengamatan. Diketahui pula dari tabel 3 hasil pengamatan diatas dapat diketahui
pula bahwa eksplan yang mampu bertahan dan menginduksi tunas dari seluruh46
eksplan yang dikulturkan pada setiap perlakuan, perlakuan IA memiliki
presentase 30%, perlakan IB memiliki presentase 10% , perlakuan IIA memiliki
presentase 35%, perlakan IIB memiliki presentase 15%, perlakan IIIA memiliki
presentase 35%, perlakan IIIB memiliki presentase 15%, perlakan IVA
memiliki presentase 55%, dan perlakan IVB memiliki presentase 20%. Dapat
diketahui pula bahwa seluruh eksplan bitti yang dinisiasikan pada ke-4 media
perlakuan tersebut yang tidak terkontaminasi dan mampu bertahan, berhasil
menginduksi tunas seluruhnya. Perbandingan jumlah dan tinggi tunas eksplan
pada ke-4 media perlakuan tersebut juga tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata. Rata-rata jumlah tunas aksilar yang terbentuk pada perlakuan IA adalah
1,0 dengan tinggi rata-rata 0,7 cm, pada perlakuan IB adalah 2,0 dengan tinggi
rata-rata 0,4 cm, pada perlakuan IIA adalah 0,6 dengan tinggi rata-rata 0,7 cm,
pada perlakuan IIB adalah 1,2 dengan tinggi rata-rata 0,3 cm, pada perlakuan
IIIA adalah 0,8 dengan tinggi rata-rata 0,3 cm, pada perlakuan IIIB adalah 1,0
dengan tinggi rata-rata 0,2 cm, pada perlakuan IVA adalah 0,7 dengan tinggi
rata-rata 0,04 cm, pada perlakuan IVB adalah 1,6 dengan tinggi rata-rata
0,1cm.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Pelaksanaan PKL
4.2.1.1. Penyusunan Proposal / Perencanaan Kegiatan Produksi
Proposal/ perencanaan kegiatan produksi merupakan salah satu syarat dalam
melaksanakan kegiatan praktik kerja lapang di instansi atau perusahaan yang
dituju. Dimana setiap kegiatan yang akan dilaksanakan selama PKL
berlangsung harus terencana dengan baik, karena setiap kegiatan harus sesuai
dengan satuan kredit semester yang yang telah ditentukan sesuai mata kuliah
bidang peminatan Kultur Jaringan Tanaman Diploma IV Vedca Joint Program
dengan Politeknik Negeri Jember. Di dalam proposal ini pula dijelaskan maksud
dan tujuan melakukan praktik kerja lapang pada instansi yang terkait. PKL juga47
sebagai wahana bagi mahasiswa untuk mendapatkan wawasan, keterampilan,
kepercayaan diri, dan sosialisasi dengan masyarakat di luar kampus yaitu
masyarakat dalam dunia kerja. Kegiatan ini dilaksanakan dilapangan tanpa
adanya teori dikelas dan praktikum di laboratorium kampus, artinya
dilaksanakan di luar kampus pada instansi-instansi yang memiliki relevansi
dengan objek kompetensi praktik yaitu tentang kultur jaringan tanaman.
Kegiatan PKL ini dilaksanakan di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH) Yogyakarta yang merupakan salah satu
instansi dibawah Departemen Kehutanan yang melakukan riset dan
pengembangan terhadap tanaman hutan khususnya tanaman hutan yang berada
di Indonesia. Salah satu komoditas yang sedang dikembangkan adalah tanaman
Bitti (Vitex cofassus.Reinw). Riset dan pengembangan yang dilakukan adalah
dalam hal perbanyakan tanaman bitti dengan metode kultur jaringan. Dengan
demikian, proposal yang dibuat merupakan pedoman untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan praktik kerja lapang sesuai dengan tata cara pelaksanaan
kegiatan pada instansi yang dituju, yaitu Balai Besar Penelitian Bioteknologi
dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH) Yogyakarta khususnya seluruh
kegiatan yang berhubungan dengan kultur jaringan tanaman.
4.2.1.2. Pembuatan Media dan Sterilisasi Media Kultur Jaringan Bitti
(Vitex cofassus.Reinw)
Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode
kultur jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media atau dengan
kata lain media merupakan faktor penentu keberhasilan dalam kultur jaringan
tanaman. Dalam pembuatan media, dibutuhkan ketelitian yang tinggi dalam
menimbang komponen-komponen media karena kesalahan dalam penimbangan
akan berakibat fatal bagi pertumbuhan kultur. Pada umumnya komposisi utama
media tanam kultur jaringan, terdiri dari hormon (zat pengatur tumbuh) dan48
sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam tanah yang dikelompokkan ke
dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik akan dapat kita peroleh
bila, kedalam media tersebut, ditambahkan vitamin, asam amino, dan hormon,
bahan pemadat (agar), glukosa dalam bentuk gula, air destilata. Media dasar
yang digunakan untuk inisiasi sengon ini adalah media MS (Murashige &
Skoog). Menurut Suryowinoto (1996), media MS adalah media yang paling
banyak dipakai, karena merupakan media yang paling efektif untuk berbagai
jenis tanaman berkayu dan tanaman herbaceous selain itu unsur-unsur dalam
persenyawaannya lebih lengkap. Dalam kegiatan inisiasi di laboratorium
B2PBPTH Yogyakarta ini, menggunakan media MS dengan penambahan empat
macam konsentrasi ZPT yang berbeda. Zat pengatur tumbuh yang digunakan
untuk memodifikasi media dasar MS ini dari golongan auksin dan sitokinin.
Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang
pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. Auksin merangsang pembelahan dan
perbesaran sel terhadap pucuk-pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan
pucuk baru. Secara alami beberapa eksplan memproduksi auksin dalam jumlah
yang cukup, tapi kebanyakan memerlukan tambahan. Sedangkan sitokinin sangat
penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis, serta merangsang
pertumbuhan tunas dan daun( Wulandari, 2002 ). ZPT dari golongan auksin yang
digunakan adalah Kinetin, (NAA) naphtalene acetid acid, sedangkan ZPT dari
golongan sitokinin yang dugunakan adalah (BAP) benzilaminopurine . Dalam
setiap media perlakuan, modifikasi yang dilakukan adalah kombinasian atau
perimbangan penggunaan ZPT antara golongan auksin dan sitokinin. Pemakaian
sitokinin dan auksin secara bersama-sama harus mempertimbangkan konsentrasi
maupun perbandingannya dalam media.
Pada empat perlakuan media dengan media dasar MS ditambahkan dosis yang
berbeda dari zat pengatur tumbuh Kinetin, naphtalene acetid acid (NAA) dan
benzilaminopurine (BAP), konsentrasi hormon yang digunakan adalah sebagai
berikut : 1). Media I menggunakan 0,01 mg/l NAA dan 0, 5 mg/l BAP;49
2). Media II menggunakan 0,01 mg/l NAA dan 1,0 mg/l BAP; 3). Media II
menggunakan 0,01 mg/l Kinetin dan 0,5 mg/l BAP; 4). Media IV menggunakan
0,01 mg/l Kinetin dan 1,0 mg/l BAP. Menurut Gunawan (1992), menyatakan
bahwa zat pengatur tumbuh mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
dalam kultur sel, jarigan dan organ. Interaksi perimbangan antara zat pengatur
tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara
endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Ditambahkan pula
menurut Abidin (1982) dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin berpengaruh
terutama pada pembelahan sel. Bersama-sama dengan auksin memberikan
pengaruh terutama pada pembelahan sel. Secara umum dapat dikatakan bahwa
perbandingan sitokinin-auksin yang tinggi, baik untuk pembentukan tunas dan
daun. Sedangkan perbandingan yang rendah baik untuk pembentukan akar
(Wetherell, 1982).
Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur-unsur hara
makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk
menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosphere melalui
fotosintesis. (Gunawan, 1992). Sumber energi yang digunakan dalam komposisi
media MS ini adalah gula pasir. Gunawan (1992), menyatakan bahwa gula putih
yang biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari cukup memenuhi syarat untuk
mendukung pertumbuhan kultur. Pada umumnya urutan yang demikian berlaku
untuk semua tanaman. Konsentrasi umum gula tergantung dari jenis kultur.
Namun pada umumnya ,konsentrasi antara 2 - 4% merupakan konsentrasi yang
optimum. Seperti halnya kegiatan inisiasi bitti ini, dosis yang digunakan untuk
media MS ini yaitu 30 g/l. Selain gula sebagai sumber energi, pemakaian bahan
pemadat media juga perlu diperhatikan. Bahan pemadat media yang paling
sering digunakan adalah agar-agar. Agar-agar adalah campuran polisakarida
yang diperoleh dari beberapa spesies algae. Dalam analisa unsur, diperoleh data
bahwa agar-agar mengandung sedikit unsur Ca, Mg, K, dan Na. Dalam media
MS ini, bahan pemadat medianya menggunakan agar. Keuntungan dari50
penggunaan agar ini adalah : agar-agar membeku pada suhu 45o
C dan mencair
pada suhu 100o
C, sehingga dalam kisaran suhu kultur, agar-agar akan berada
dalam keadaan beku yang stabil, tidak dicerna oleh enzyme tanaman, tidak
bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media. Konsentrasi
agar-agar yang diberikan berkisar antara 0,6 - 1,0%. Konsentrasi agar-agar yang
terlalu tinggi akan menyebabkan agar menjadi keras sehingga dapat mengurangi
difusi persenyawaan dari dan kearah eksplan, sehingga pengambilan hara dan zat
tumbuh berkurang, sedangkan zat penghambat dari eksplan tetap berkumpul di
sekitar eksplan (Debergh, 1982 dalam Gunawan, 1992). Dan dalam kegiatan
inisiasi bitti ini penggunaan agar merek swalow 12g/l. Faktor lain yang
diperhatikan dalam pembuatan media adalah derajat keasaman (pH) dari media.
Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau kebasaan
dari larutan. (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Media untuk tanaman bitti
membutuhkan kadar pH 5,8. Menurut Gamborg dan Shyluk (1981) dalam
Gunawan (1992) sel-sel tanaman mambutuhkan kadar pH yang sedikit asam
berkisar antara 5,5–5,8. Kadar pH yang tidak beraturan juga akan menganggu
fungsi membran sel. Kadar pH yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan media
kultur menjadi keras sehingga pertumbuhan akar akan tehambat karena akar
akan sulit menembus agar, sedangkan kadar pH yang terlalu rendah akan
menyebabkan media akan menjadi lembek, sehingga eksplan yang ditanamkan
kemungkinan besar akan tenggelam dan akan mengganggu aerase eksplan. Oleh
sebab itu pengaturan pH dapat dilakukan dengan menambahkan larutan HCl atau
NaOH. Jika kadar pH lebih dari 5,8 maka dapat ditambahkan bebrapa tetes HCl,
sedangkan kadar pH kurang dari 5,8 maka dapat ditambahkan beberapa tetes
NaOH.
Karena media kultur jaringan yang kaya akan nutrisi tersebut merupakan sumber
makanan yang baik untuk bakteri dan fungi, sterilitas media juga harus
diperhatikan karena jika media sudah terkontaminasi bakteri atau fungi, maka
media tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Bakteri atau jamur merupakan51
sumber kontaminan yang menjadi musuh dalam menumbuhkan tanaman secara
in-vitro . Jika dalam suatu botol sudah ditumbuhi jamur atau bakteri, maka besar
kemungkinan eksplan atau planlet di dalamnya tidak akan tumbuh dengan baik
dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Walaupun pembawa kontaminan tidak
hanya dari media, akan tetapi media harus diterilisasi untuk mengurangi
kemungkinan kontaminasi yang berasal dari media yang kurang steril. Media
disterilisasi menggunakan autoklaf dengan suhu 121o
C dan tekanan 1,5 Mpa
selama ± 20 menit. Autoklaf merupakan sterilisator uap dengan tekanan yang
cukup tinggi. Uap air panas steril yang dihasilakan dari autoklaf dapat
mematikan sel-sel mikroba. Kondisi suhu, tekanan dan waktu tersebut tentunya
merupakan kondisi yang optimal untuk sumber kontaminan seperti jamur dan
bakteri atau mikroorganisme lain yang terbawa dari luar bisa mati tanpa merusak
susunan kimia dari komponen-komponen media.
4.2.1.3. Pemilihan bahan tanam sumber eksplan Bitti (Vitex
cofassus.Reinw)
Kesesuaian suatu bagian tanaman untuk dijadikan eksplan, dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan dekat pun,
belum tentu menunukkan respon in-vitro yang sama. Kendatipun demikian perlu
dicatat bahwa ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap respon in-
vitro tersebut, yaitu : kemampuan regenerasi, tingkat fisiologi dan kesehatan
tanaman donor (Wetherell, 1976). Sedangkan menurut Yusnita, (2004)
menambahkan pula bahwa umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan,
serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus
dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan
awal kultur.
Dalam memperbanyak tanaman bitti secara kultur jaringan, tentunya ada
tanaman induk yang dijadikan bahan tanam (eksplan). Tanaman indukan tersebut
harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya. Umumnya bagian tanaman yang akan52
dijadikan sebagai eksplan adalah bagian tanaman yang masih muda. Karena
jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi yang lebih
tinggi, sel-selnya masih aktif mebelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung
lebih sedikit kontaminan ) (Yusnita, 2004). Namun untuk tanaman tahunan atau
tanaman keras seperti bitti, permasalahan yang sering dihadapi adalah dalam
penyediaan eksplan, karena pohon atau tanaman keras pada uumnya mempunyai
jaringan yang telah tua meskipun di beberapa bagian ada yang bersifat
meristematis. Untuk itu eksplan dapat berasal dari seedling yang dihasilkan dari
perkecambahan biji secara steril (Somer dan Caldas dalam Wulandari, 2002).
Namun jika tidak tersedia seedling yang ditanam secara steril dapat
menggunakan seedling yang ditanam di greenhouse, tentunya dengan resiko
kontaminasi yang lebih besar dibandingkan dengan seedling yang ditanam secara
steril pada media kultur.
Selain menggunakan seedling, eksplan juga dapat dihasilkan dari teknik
rejuvenasi. Trubusan tunas melalui teknik rejuvenasi dihasilkan dengan cara
perendaman cabang pada media pasir atau air pada bak trubusan yang disungkup
plastik. Rejuvenasi adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu
rejuvenation, yang berarti pemudaan kembali. Tujuan dari rejuvenasi ini adalah
untuk mendapatkan bahan-bahan vegetatif yang secara fisiologis bersifat juvenil
(dapat membentuk organ baru) sehingga dapat diperbanyak secara vegetatif,
karena sifat juvenil lebih bersifat meristematis, yang umumnya tunas muda yang
tumbuh pada tanaman. Selain itu dapat mengurangi resiko kontaminasi.
Padan trubusan sumber eksplan atau seedling yang ditanam di greenhouse
sebaiknya dilakukan pemeliharaan yang rutin seperti penyemprotan dengan
pestisida (fungisida dan insektisida), sehingga tunas baru yang tumbuh menjadi
lebih sehat dari kontaminan. Disamping itu, pengubahan status fisiologi tanaman
sumber eksplan kadang-kadang perlu dilakukan, seperti memanpulasi parameter
cahaya, suhu, dan zat pengatur tumbuh. Manipulasi tersebut bisa dilakukan53
dengan mengkondisikan trubusan dengan fotoperiodisitas dan temperatur
tertentu untuk mengatasi dormansi serta penambahan ZPT seperti sitokinin untuk
merangsang tumbuhnya mata tunas baru dan untuk meningkatkan reaktivitas
eksplan terhadap inisiasi kultur (Yusnita, 2004).
A
Gambar 1. Sumber eksplan hasil rejuvenasi berumur 21 hari
Gambar 2. Sumber eksplan dari seedling berumur ± 60 hari.
4.2.1.4. Sterilisasi eksplan dan inisiasi kultur Bitti (Vitex cofassus.Reinw)
Eksplan merupakan sumber kontaminasi kultur, disamping komponen media,
faktor manusia, dan lingkungan. Karena itu, sebelum ditanam secara aseptik
dalam media yang steril, eksplan bitti harus dibersihkan dari kotoran terluar dan
disterilisasi. Bila kontaminan tidak dihilangkan, maka media yang mengandung
gula, vitamin, dan mineral, akan ditumbuhi kontaminan terutama untuk fungi54
akan tumbuh dengan cepat dan memenuhi botol. Eksplan nantinya akan mati
akibat dari serangan persenyawaan toksik yang diproduksi cendawan atau
bakteri. Prosedur sterilisasi untuk eksplan bitti ada dua tahap. Tahap pertama
adalah proses sterilisasi di luar laminar menggunakan desinfektan seperti
fungisida dan detergen, sedangkan tahap yang kedua adalah sterilisasi di dalam
laminar menggunakan bahan aktif NaOCl yang terdapat pada pemutih pakaian,
betadine dan alkohol.
Pada tahap sterilisasi di luar laminar, eksplan dibersihkan dari debu, cendawan,
bakteri atau sumber kontaminan lain. Karena lapisan terluar dari tanaman yang
tumbuh di luar, rumah kaca biasanya terinfeksi oleh spora-spora dan sel-sel
mikroba. Untuk menghilangkan sumber kontaminan tersebut, maka sterilisasi
eksplan yang pertama kali harus dilakuakan adalah dengan pencucian dan
pembuangan bagian-bagian yang kotor dan mati di bawah pancuran air ledeng
dan dilakukan dalam ±30 menit. hal tersebut bertujuan untuk memecahkan
koloni kontaminan permukaan, agar koloni-koloni tersebut lebih peka terhadap
bahan-bahan sterilisasi (Gunawan; 1992). Kemudian baru setelah itu dilakukan
perendaman dan penggojogan eksplan tersebut dalam larutan detergen dan
fungisida, dalam konsentrasi dan waktu tertentu. Fungisida adalah desinfektan
yang digunakan untuk menghilangkan jamur. Sedangkan detergen berfungsi
untuk mempermudah penetrasi desinfektan dan mencegah terbentuknya
gelembung udara yang menutupi permukaan jaringan karena biasanya jaringan
luar eksplan berlapis lilin (Wetherell, 1982). Pemakaian detergen ini biasanya
sebelum sterilisasi menggunakan fungisida. Konsentrasi detergen yang
digunakan adalah kira-kira 2g /l dalam waktu 30 menit. Karena dengan
konsentrasi dan waktu tersebut diduga sudah cukup untuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada permukaan eksplan, selain itu pori-pori eksplan
sudah cukup membuka untuk nantinya larutan fungisida dapat masuk dalam
pori-pori eksplan dan bereaksi menghilangkan sumber kontaminan, baik bakteri,
fungi, atau mikroba lain, lebih dalam lagi namun bukan dalam jarigannya, yang55
tidak mati oleh reaksi detergen sebelumnya. Penggunaan konsentrasi fungisida
pada sterilisasi eksplan bitti ini pada kepekatan 10gr/l dalam waktu sekitar 15
menit. Jika kepekatan terlalu tinggi maka besar kemungkinan ada sebagian
jaringan eksplan akan rusak, gosong dan akhirnya akan mati. Karena eksplan
yang digunakan berasal dari jaringan yang masih muda yang tentunya masih
sangat rentan terhadap reaksi bahan kimia, karena jika penggunaannya berlebih,
pada umumnya bersifat toxic terhadap jaringan tanaman (Gunawan, 1992).
Sterilisasi tahap selanjutnya adalah setrilisasi di dalam laminar. Karena di dalam
laminar udara steril dihembuskan secara kontinue melewati tempat kerja (meja
steril) sehingga tempat kerja atau meja steril bebas dari debu dan spora-spora
yang akan menyebabkan eksplan akan terkontaminasi lebih besar lagi. Kegiatan
sterilisasi di dalam laminar ini mampu lebih meminimalisir sumber kontaminasi,
selain bahan aktif desinfektan yang bereaksi langsung menghilangkan
kontaminan. Bahan aktif yang digunakan dalam sterilisasi di dalam laminar ini
menggunakan alkohol 70%, NaOCl 1% + @ tween 2 - 3 tetes/100ml. Bahan
aktif NaOCl ini didapatkan dalam larutan pemutih pakaian dengan merek dagang
”Bayclin”. Bahan-bahan kimia tersebut tentunya bereaksi lebih keras lagi untuk
mematikan bakteri, fungi, atau mikroba lain, oleh sebab itu penggunaan
konsentrasinya harus hati-hati karena dalam sterilisasi eksplan hal penting
diperhatikan adalah bahwa sel tanaman dan kontaminan adalah sama-sama benda
hidup. Kontaminan harus dihilangkan tanpa mematikan sel tanaman.
Penggunaan NaOCl dengan konsentrasi berbeda diduga bertujuan agar eksplan
yang ditsrilisasi dengan bahan tersebut mengkondisikan jaringan-jaringannya
agar tidak rusak karena bahan aktif NaOCl jika digunakan dalam kosentrasi
tinggi sekaligus justru bukan hanya membunuh sumber kontaminan akan tetapi
juga ada kemungkinan merusak jaringan-jaringan eksplan yang nantinya jaringan
eksplan tersebut tidak responsif terhadap nutrisi dalam media, bahkan akan mati.
Penggojogan dengan larutan alkohol 70% hanya 1 menit, karena konsentrasi
alkohol sangat tinggi. Menurut Gunawan (1992), dalam kasus kontaminasi56
internal dapat dilakukan dengan melakukan perendaman dalam larutan
antibiotik. Namun perlu ditekankan kembali bahwa penggunaan bahan aktif
tersebut belum menentukan apakah eksplan akan benar-benar terbebas dari
kontaminan atau tidak, untuk itu perlu mengembangkan sendiri cara yang paling
efekt if.
Pembilasan dengan aquadest steril hingga benar-benar tidak tersisa bahan aktif
yang masih menempel pada eksplan, sangat penting dilakukan, karena jika bahan
aktif untuk strilisasi masih menempel ditakutkan akan justru bereaksi dengan
mineral hara pada media dan bersifat toksik terhadap eksplan yang ditanamkan.
Reaksi yang ditimbulkan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan
eksplan. Oleh sebab itu pastikan pembilasan dilakukan sampai bahan aktif
desifektan hilang. Setelah sterilisasi dalam laminar, barulah eksplan dapat
diinisiasi. Menurut Wetherell (1982), tujuan utama dari tahap ini adalah
pembuatan kultur dari eksplan yang bebas mikroorganisme serta inisiasi
pertumbuhan baru. Dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan yang
dikultukan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan
pemilihan jenis eksplan yang tumbuhnya paling kuat, untuk perbanyakan
(multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya. Secara teknis, inisiasi bitti ini
dilakukan di dalam laminar, tentunya alat-alat yang akan digunakan seperti
pinset, pisau skalpel, petridish, harus dalam keadaan steril. Sterilisasi alat-alat
tersebut cukup dengan mencelupkannya pada larutan alkohol 96% kemudian
membakarnya. Dengan bakaran api dari lampu bunsen, akan dapat membunuh
mikroorganisme yang menempel pada alat tersebut. Eksplan yang telah
disterilisasi terlebih dahulu, kemudian ditanamkan dalam media dalam bentuk
potongan-potongan per nodus, diharapkan tunas nantinya akan tumbuh pada
nodus eksplan tesebut. Eksplan tersebut, kemudian diinkubasikan diruang terang
dengan sumber cahaya dari lampu fluorescent dengan intensitas cahaya antara
100-400 ft-c (10000 – 40000 lux). Eksplan yang sudah dipenuhi kebutuhan57
karbohidrat dari gula dan medium, harus terpenuhi kebutuhan cahayanya, cahaya
amat penting untuk pengendalian perkembangan eksplan ( Gunawan, 1987).
Namun selama tahap tersebut berlangsung, akan ditemui masalah-masalah
tentang kontaminasi, dan akan terlihat tanda-tanda apakah komposisi hormon
dalam media telah sesuai dengan materi tanaman yang digunakan sebagai
eksplan. Oleh sebab itu dalam kegiatan inisiasi bitti ini terdapat pengamatan
untuk mengetahui tingkat kontaminasi, kemampuan tumbuh eksplan, respon
eksplan terhadap media. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam pembahasan
pengamatan inisiasi bitti.
4.2.1.5. Multiplikasi atau Perbanyakan Propagul
Tahap ini adalah tahap kedua setelah tahap inisiasi. Pada prinsipnya, tahap ini
bertujuan untuk menggandakan propagul atau bahan tanaman yang diperbanyak
seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga
seaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Pada tahap ini
perbanyakan tunas dirangsang, umumnya dengan mendorong percabangan tunas
lateral atau merangsang pembentukan tunas adventif (Yusnita, 2004).
Multiplikasi dilakukan karena ada beberapa faktor yang harus diperhatikan,
seperti jumlah tunas yang terbentuk sudah memenuhi botol sehingga
pertumbuhannya terganggu, ketersediaan hara dalam media berkurang.
Kegiatan ini dilakukan di dalam laminar, yang kita ketahui laminar pada
prinsipnya adalah sebuah kotak atau ruangan kecil yang didalamnya
dihembuskan udara yang bersih dari kontaminan. Alat ini digunakan untuk
menanam eksplan dan subkultur yang mensyaratkan kondisi yang aseptik.
Sebelum melakukan isolasi terhadap propagul yang akan dimultiplikasi, tentunya
semua alat seperti pisau skalpel, pinset, petridis harus dalam kondisi yang steril
juga. Caranya dengan mencelupkannya (pinset dan skalpel) dalam alkohol 96%
menetesi permukaan petridis menggunakan alkohol 96% kemudian58
membakarnya. Dengan hal tersebut, tentunya sumber kontaminan yang
menempel akan mati. Mekanisme subkultur yang dilakukan adalah dengan
memotong eksplan per nodus, tentunya eksplan yang tidak terkontaminasi dari
tahap inisiasi dan kemudian dipindahkan ke media yang baru. Yang nantinya
tunas akan dirangsang oleh media dengan komposisi tertentu. Komposisi media
yang digunakan untuk multiplikasi berbeda dengan komposisi untuk inisiasi
eksplan. Karena dalam tahap ini yang dirangsang pertumbuhan tunasnya lebih
banyak, maka dalam media memerlukan hormon sitokinin yang lebih tinggi
dibanding dengan kinetin.
Menurut Yusnita, (2004) mengemukakan bahwa subkultur dapat dilakukan
beberapa kali sampai jumlah tunas yang dihasilkan sesuai dengan yang kita
harapkan. Namun frekuensi subkultur yang terlalau banyak dan sering akan
menurunkan mutu tunas yang dihasilkan, seperti terjadinya gejala vitrivikasi
(suatu gejala ketidak normalan fisiologis) dan aberasi (penyimpangan) genetik.
Kedaan ini terjadi karena semakin banyak subkultur dilakukan berarti semakin
sering tanaman dikondisikan dalam media yang mengandung sitokinin, sehingga
daya regenerasinya meningkat. Akibatnya kultur yang semula hanya
menghasilkan tunas-tunas lateral dapat menghasilkan tunas adventif dalam
jumlah banyak, namun rasio perbanyakan yang terlalu tinggi akan beresiko
tinggi menhasilkan tanaman off-type.
4.2.1.6. Aklimatisasi
Tahapan terakhir dari teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet.
Aklimatisasi adalah pengkondisian planlet atau tunas mikro ke lingkungan baru
yang septik di luar botol pada media tanam konvensional sehingga planlet dapat
bertahan hidup dan terus tumbuh untuk menjadi bibit yang siap ditanam di
lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan
berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan
keberhasilan yang tinggi (Yusnita, 2004). Tahap ini merupakan tahap kritis59
karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah plastik, rumah bibit, dan
lapangan sangat jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol.
Kondisi di luar botol berkelembaban nisbi jauh lebih rendah, tidak aseptik, dan
tingkat intensitas cahayanya jauh lebih tinggi daripada kondisi dalam botol.
Planlet atau tunas mikro lebih bersifat heterotrofik karena sudah terbiasa tumbuh
dalam kondisi yang berkelembaban nisbi tinggi, aseptik, serta suplai hara
mineral dan sumber energi berkecukupan.
Planlet yang sudah memenuhi syarat aklimatisasi dapat diaklimatisasikan. Syarat
aklimatisasi tersebut antara lain, planlet sudah tumbuh akar, tampilan fisik baik
batang, daun kokoh serta segar dan sehat. Aklimatisasi sebaiknya dilakukan di
dalam green house, karena kondisi iklim mikronya tidak terlalu ekstrim. Planlet
tersebut dikeluarkan secara hati-hati dari dalam botol, sehingga tidak patah atau
terluka, kemudian dibersihkan sisa-sisa media yang masih menempel pada akar
dengan air mengalir, untuk mengurangi terjadinya pertumbuhan mikroorganisme
lain yang mengganggu. Setelah itu perendaman dengan larutan fungisida selama
± 5 menit juga akan menghindari tumbuhnya jamur. Karena planlet tersebut akan
akan ditanamkan di media konvensional dan dikondisikan dengan kelembaban
tinggi yang tentunya kondisi tersebut memudahkan jamur untuk tumbuh dengan
baik. Pengkondisian tersebut dilakukan dengan cara memberi sungkupan pada
pot atau bak aklimatisasi dan mengurangi intensitas cahaya.
Secara berangsur-angsur kelembapnnya diturunkan dan intensitas cahaya
dinaikkan. Setalah 1-2 minggu, sungkup plastik dibuka secara berangsur-angsur
sampai terbuka sama sekali dan biarkan selama kurang lebih satu bulan agar
planlet dapat benar-benar terkondisikan di lingkungan luar. Setelah itu, barulah
bibit hasil kultur jaringan yang sudah terkondisikan tersebut dapat dipindahkan
ke lapangan.60
4.2.2. Percobaan dan Pengamatan
4.2.2.1. Percobaan dan Pengamatan Inisiasi Bitti (Vitex cofassus.Reinw)
Mengetahui respon pertumbuhan dan perkebangan eksplan dari tunas
seedling bitti ± umur 30 hari pada beberapa media perlakuan.
Dari tabel 2 data hasil pengamatan inisiasi bitti pada berbagai media perlakuan,
dapat diketahui bahwa tingkat kontaminasi dari beberapa media perlakuan relatif
masih tinggi, yaitu berkisar antara 45 – 80%. Kontaminasi yang terjadi rata-rata
berasal dari eksplan, karena selama pengamatan yang dilakukan, kontaminan
baik berupa jamur atau bakteri awalnya menempel pada eksplan baru kemudian
menyebar ke media. Kemungkinan penyebab kontaminasi yang terjadi adalah
karena pelaksanaan inisiasi yang tidak higienis karena kecerobohan pelaksana,
kurang efektifnya sterilisasi eksplan baik dilamanya sterilisasi maupun
konsentrasi dari larutan yang digunakan. Selain itu mengingat eksplan tersebut
diambil dari lapangan yang sarat dengan mikroorganisme sumber kontaminasi,
dimungkinkan karena adanya kontaminasi internal sehingga meskipun bagian
permukaan sudah disterilisasi tetapi tidak efektif untuk kontaminan yang berada
dalam sel atau jaringan tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994).
Ditambahkan pula menurut Salisbury (1992) menyatakan bahwa kontaminasi
internal sulit untuk diatasi atau dikendalikan sebab mikroorganisme kontaminan
ini telah menyatu dengan sel eksplan tanaman. Dari hasil pengamatan,
menunjukkan terdapatnya eksplan bitti yang mati dan gosong namun dalam
persentase yang kecil. Hal ini terjadi mengingat eksplan yang di gunakan masih
dalam keadaan sangat muda. Eksplan yang mati atau gosong biasanya karena
disebabkan oleh konsentrasi yang terlalu tinggi yang menyebabkan rusaknya
jaringan eksplan. Karena eksplan yang digunakan berasal dari jaringan yang
masih muda, tentunya masih sangat rentan terhadap reaksi bahan kimia, karena
jika penggunaannya berlebih, pada umumnya bersifat toxic terhadap jaringan
tanaman (Gunawan, 1992). Jadi dalam sterilisasi ini, jaringan eksplan dari61
seedling berumur ± 60 hari rata – rata sudah cukup kuat bereaksi dengan bahan
strilisasi yang digunakan
Gambar 3. Eksplan yang bertahan hidup dan mampu menginduksi tunas..
Gambar 4. Eksplan yang terkontaminasi
Berdasarkan tabel 2, dari eksplan-eksplan yang mampu bertahan pada beberapa
media perlakuan, ternyata kesemuanya eksplan yang bertahan mampu
menginduksi tunas. Perbandingan tunas yang terbentuk pada setiap media
perlakuan tidak berbeda nyata, karena setiap media perlakuan ditambahkan
beberapa komposisi zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Perbandingan
dosis zat pengatur tumbuh yang diberikan pada setiap media perakuan adalah
dosis sitokinin lebih tinggi daripada dosis auksin. Tentunya hal itu menyebabkan
eksplan akan lebih terpacu untuk membentuk tunas. Menurut Hendaryono dan62
Wijayani (1992), menyatakan bahwa pemberian sitokinin dengan kadar yang
relatif tinggi, diferensiasi kalus akan cenderung ke arah pembentukan primodia
batang atau tunas.
Jumlah tunas yang terinduksi eksplan pada keseluruhan media perlakuan juga
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun eksplan yang mampu
menginduksi tunas paling banyak adalah eksplan pada media perlakuan IB
dengan rata-rata tunas yang terbentuk berjumlah 2,0 tunas aksilar. Pada
perlakuan IVB berjumlah rata-rata 1,6 tunas aksilar, pada perlakuan IIB,
berumlah rata-rata 1,2 tunas aksilar,sedangkan pada perlakuan IA dan IIIB
menunjukan rata – rata yang sama yaitu 1,0 tunas aksilar, pada perlakuan IIIA
dan IVA terbentuk tunas aksilar dengan rata – rata secara berurutan 0,8 dan 0,7
tunas, pembentukan tunas yang terendah adalah pada media perlakuan IIA,
dengan rata-rata tunas yang terbentuk berjumlah 0,6. Kemungkinan besar pada
media perlakuan IVB yang mampu menginduksi tunas paling banyak karena
konsentrasi hormon eksogen yang terdapat pada media cocok dengan hormon
endogen pada eksplan yang tidak diketahui jumlahnya. Dan pada media
perlakuan IIA yang menginduksi tunas dengan jumlah terkecil dimungkinkan
karena konsentrasi hormon eksogen baik sitokinin maupun auksin tidak responsif
terhadap kandungan hormon endogen pada eksplan sehingga interaksi hormon
untuk memacu pertumbuhan tunas kurang begitu baik. Pembentukan tunas
merupakan respon pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman terhadap
interaksi zat pengatur tumbuh yang diberikan dengan kandungan hormon yang
dimiliki oleh tanaman itu sendiri yang berpengaruh terhadap pembelahan sel
yang berlanjut untuk pembentukan tunas. Selain itu pula pembentukan tunas
disebabkan oleh konsentrasi sitokinin dalam media lebih tinggi dibandingkan
dengan konsentrasi auksin. Hal tersebut berarti sesuai denan pendapat George
dan Sherington (1984) dalam Wattimena (1987) bahwa sitokinin dalam
konsentrasi tinggi sangat dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan tunas lebih
banyak lagi.63
Pengukuran terhadap tinggi tunas merupakan suatu kegiatan yang berkelanjutan
setelah perhitungan tunas untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan
eksplan tanaman yang ditanam secara kultur jaringan. Pada tabel 2, dapat
diketahui bahwa pertumbuhan pertumbuhan tinggi tunas juga tidak berbeda
nyata. Media perlakuan IA dan IIB, tinggi tunas rata-ratanya adalah 0,7 cm,
media perlakuan IB, tinggi tunas rata-rata adalah 0,4 cm, pada media perlakuan
IIB, IIIA dan IVA rata-rata tinggi tunas menunjukan angka yang sama yaitu 0,3
cm, dan pada media perlakuan IIIB, tinggi tunas rata-ratanya adalah 0,2 cm, serta
pada media perlakuan IVB menunjukan rata – rata tinggi tunas 0,1cm . Dari hasil
tersebut, eksplan dengan tunas tertinggi diperoleh pada media perlakuan IA dan
IIB yaitu 0,7cm, dan rata-rata panjang tunas terendah diperoleh pada media
perlakuan IVB yaitu 0,1 cm. Pemanjangan tunas yang terjadi dimungkinkan oleh
terjadinya interaksi hormon endogen (auksin endogen ) dan hormon eksogen
yang ditambahkan pada media.
Dimana secara bersama-sama auksin dan sitokinin yang ditambahkan pada
medium dengan konsetrasi sitokinin yang tinggi dibandingkan dengan auksin
berinteraksi dengan hormon auksin endogen memberikan pengaruh terhadap
diferensiasi jaringan ke arah pemanjangan tunas. Menurut Wattimena (1987),
menyatakan bahwa auksin endogen yang terdapat pada bagian ujung tanaman
mampu mendorong pembesaran sel yang megakibatkan perpanjangan batang.
Sehinga sitokinin yang berpengaruh terhadap pembelahan sel, bersama-sama
dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan (
Abidin, 1982).64
Langganan:
Postingan (Atom)